Jokowi, Berhentilah Melanggengkan Impunitas !
Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Federasi KontraS) yang beranggotakan KontraS Aceh, KontraS Sumatera Utara, KontraS Surabaya, KontraS Sulawesi, KontraS Papua, dan KontraS Nusa Tenggara menyatakan keprihatinan dan kekecewaan mendalam dengan keputusan Presiden Jokowi yang telah mengangkat terduga pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai salah satu menteri dalam kabinet Indonesia Maju.
Keputusan ini menegaskan bahwa Presiden dalam menyusun Kabinet sama sekali tidak memperhatikan tiga kewajiabn pemeritah atas HAM, yaitu menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia. Dan justru sangat berpotensi melanggengkan praktek Impunitas dalam HAM, yaitu ketiadaan penegakan hukum atas tindak kejahatan HAM.
Sebagaimana telah diketahui Presiden Jokowi telah melantik Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Federasi KontraS mencatat bahwa Prabowo Subianto pada saat menjabat Danjen Kopassus tahun 1998 adalah salah satu pihak yang ikut bertanggungjawab dalam kasus penghilangan paksa 23 aktivis pro demokrasi. Hingga kini 13 orang korban masih belum diketahui nasibnya.
Keterlibatan Prabowo salah satunya dapat dirujuk pada keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) melalui surat No. KEP/03/VIII/1998/DKP yang memberhentikan Prabowo dari dinas militer karena dianggap bertanggung jawab dalam melakukan sejumlah penculikan dan penghilangan paksa kepada aktivis pro demokrasi.
Prabowo Subianto juga adalah orang yang masuk dalam laporan Penyelidikan Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa 1997 – 1998. Prabowo telah dipanggil beberapa kali untuk memberikan kesaksian, tetapi pihaknya tidak pernah hadir. Mangkirnya Prabowo dalam panggilan Komnas HAM, sekurang-kurangya menunjukkan bahwa Prabowo tidak memiliki komitmen untuk pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban hukum dalam kasus penghilangan orang secara paksa 1997 – 1998.
Pada 2009 Komnas HAM, sudah memberikan rekomendasi atas penyelidikan kasus penghilangan terhadap para aktivis itu ke Kejaksaan Negeri dan DPR. Pada tahun yang sama DPR juga telah membentuk Pansus dan mengeluarkan empat rekomendasi. Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI, institusi pemerintah, dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang hingga saat ini. Ketiga, merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Dan keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Dan hingga sekarang rekomendasi Pansus DPR itu belum berjalan. Alih-alih melaksanakan rekomendasi DPR, Jokowi justru memberikan jabatan strategis kepada orang yang menjadi terduga memiliki keterlibatan dalam peristiwa ini.
Dalam jajaran kabinet ini, Presiden Jokowi juga telah mengangkat 4 orang mantan petinggi militer dan Polri dan 1 orang sebagai Kepala Staff Kepresidenan. Hal ini seolah mempertegas rendahnya kepercayaan diri Presiden sebagai representasi sipil atas militer. Dalam 20 tahun pasca reformasi, ini adalah langkah mundur yang mengancam masa depan demokrasi di Indonesia.
Saat ini Federasi KontraS mencatat ada setidaknya sembilan masalah HAM yang harus menjadi perhatian pemerintah, yaitu :
- Buruknya akuntabilitas penuntasan kasus-kasus HAM masa lalu; Mandegnya Pengadilan HAM, Upaya Pengungkapan Kebenaran dan Rekonsiliasi;
- Tingginya ancaman kekerasan dan kriminalisasi terhadap para aktivis Pembela Hak-hak Manusia (HAM), termasuk Jurnalis;
- Kekerasan, penggunaan kekuatan keamanan yang berlebihan, buruknya perlindungan Hak kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi dan kebebasan pers di Papua;
- Buruknya perlindungan Hak Atas Kebebasan Berekspresi;
- Kekerasan berlatarbelakang Hak Atas Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan, Beragama, dan Berkepercayaan; Serta rendahnya penggunaan prinsip-prinsip HAM dalam menangkal ekstrimisme dan kekerasan berlatar belakang agama.
- Rendahnya Akuntabilitas Atas Kekerasan dan Pelanggaran HAM oleh Aparat Keamanan
- Tingginya konflik dan kekerasan akibat tata kelola sumberdaya alam, dan rendahnya akuntabilitas Pelanggaran HAM di Sektor Bisnis;
- Tidak ada komitmen untuk menghapus Hukuman Mati untuk Semua Kejahatan
- Tidak ada perlindungan atas Diskriminasi dan Kekerasan terhadap kelompok LGBT
Federasi KontraS sangat ragu bahwa dengan komposisi kabinet saat ini pemerintahan Jokowi akan mampu merespon masalah-masalah HAM diatas. Alih-alih menegakkan dan menghormati HAM, pejabat Negara yang diangkat Jokowi justru bagian dari terduga pelaku dalam peristiwa-peristiwa kejahatan HAM.
Masalah HAM bukanlah masalah sepele. Jokowi harus sadar, bahwa apabila dirinya tidak punya komitmen atas HAM maka, semua upaya program pembangunannya hanya akan memberikan luka kepada rakyat Indonesia. Orde baru adalah bukti kongkret atas hal ini. Pembangunanisme Orde Baru, adalah pembangunan yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
Federasi KontraS meyakini, saat ini Jokowi telah terdorong semakin jauh dari semangat dan mandat reformasi. Federasi KontraS mengkhawatirkan, kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi hanya akan mendulang perlawanan rakyat yang semakin meluas, dan menjatuhkan legitimasi dan kredibilitas pemerintah.
Surabaya, 25 Oktober 2019
Andy Irfan, Sekjend Federasi KontraS