Federasi KontraS bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, mengecam keras tindakan sejumlah aparat kepolisian dan TNI yang telah melakukan tindakan pembubaran paksa acara diskusi terhadap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya dan Kota Malang.
Minggu 1 Juli 2018 sekitar pukul 15.00 WIB mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) bermaksud untuk menyelengarakan diskusi dengan tema “Memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan West Papua”, kemudian pada pukul 15.20 WIB, kurang lebih ada 15 orang aparat gabungan Intelkam Polrestabes dan TNI, yang mengenakan pakaian sipil, mulai telihat berada di sekitar luar halaman asrama Papua. Pada saat diskusi baru akan dimulai secara tiba-tiba sekitar pukul 17.15 WIB aparat gabungan tersebut mendobrak masuk pintu asrama yang terletak di Jl. Kalasan Surabaya, dimana kegiatan diskusi baru akan dimulai.
Kemudian terjadi perdebatan antara aparat dan pihak penyelenggara diskusi, pada saat terjadinya perdebatan kemudian salah satu anggota intel Polrestabes menyampaikan, “Periksa-periksa” kepada anggota lainya. Kemudian salah satu dari anggota Intelkam Polrestabes Surabaya, mengambil hardcopy materi diskusi dan melihat judul materi yang telah disiapkan oleh pemantik (Step Pigai). Setelah membaca materi mereka menegaskan dengan kata-kata bahwa, “Kami melarang diskusi maupun aksi yang bersifat menentang negara, dan diskusi ini sudah menentang negara, maka secara tegas kami membubarkan diskusi ini dan tidak usah ada lagi untuk melanjutkan, karena kalian berada di dalam negara kesatuan NKRI.” Spontan adu mulut pun terjadi antara oknum intel tersebut dengan salah satu mahasiswa Papua peserta diskusi hingga situasinya mulai memanas. Yang mana turut terpancing emosi peserta diskusi lainnya sebab intel tersebut mengeluarkan kata-kata kasar berupa cacian dan makian.
Peserta diskusi yang hadir dalam kegiatan juga mendapatkan tekanan oleh gabungan aparat Intelkam Surabaya, untuk tidak melanjutkan diskusi. Ketika ditanyai apa alasan pelarangan tesebut oleh salah satu perseta diskusi, oknum tersebut menjawab bahwa, “Topik diskusi berbau politik perjuangan Papua merdeka.” Tidak hanya itu, oknum dari pihak Intelkam juga mengarahkan mahasiswa Papua untuk menganti topik diskusi dengan yang tidak bersifat menentang negara. Oknum tersebut menambahkan bahwa jika tidak, atau masih ada diskusi-diskusi serupa, maka tidak segan-segan mereka kembali dan membubarkan paksa.
Di hari yang sama, pembubaran diskusi yang sedianya dilaksanakan Aliansi Mahasiswa Papua KK Malang dalam rangka memperingati HUT Proklamasi Negara West Papua yang Ke-47 Di Sekretariat IPMAPAPARA Malang dibubarkan paksa. Berikut uraian kronologis singkat:
Minggu, 1 Juli 2018 pukul 16.00 WiB penghuni kontrakan IPMAPAPARA didatangi oleh pihak RT dan Intel berpakaian preman, mereka membawa himbauan (terlampir) yang intinya melarang dilaksanakannya kegiatan nobar dan diskusi, sesuai seruan yang dipublikasikan di media sosial seperti Facabook dan Whatsapp. Penghuni menerima himbauan tersebut dan selanjutnya diserahkan kepada kawan-awan AMP. yakni Musa Pekei dan Ferry Takimai, namun himbauan tersebut tidak digubris panitia. Pada pukul 18.00 WIB peserta diskusi sudah mulai berdatangan dan diskusi dimulai pada pukul 18.30 WIB. Diskusi dimulai dengan menonton bersama film Sejarah Papua sebagai pengantar, yang dipandu oleh Musa Pekei dan Yustus Yekusamon. Pada pukul 19:30 WIB, saat acara sedang berlangsung tiba-tiba datang rombongan organisasi masyarakat (ormas) bersama dengan Ketua RT, mereka mencoba memasuki pintu pagar kontrakan kemudian dihadang oleh panitia keamanan (Yohanes dan Felle). Kemudian terjadi proses negosiasi antara mahasiswa dan perwakilan ormas serta Intel. Saat negosiasi belangsung tiba-tiba 2 orang TNI masuk ke dalam kontrakan disusul oknum berpakaian preman serta Intel dan memaksa kawan-kawan peserta diskusi untuk keluar dan meninggalkan tempat diskusi, namun peserta masih bertahan.
Pada saat negoisasi berlangsung, Yohanes dan Felle dipukul, kemudian Yohanes diludahi di wajah, dicaci-maki namun mereka tidak membalasnya, sementara itu aparat kemanan hanya menonton dan melakukan proses pembiaran. Pada pukul 19.40 WIB, ormas, TNI dan Polisi, mulai membanting pintu dan jendela kontrakan, secara brutal, dan memaksa membubarkan serta memulangkan peserta diskusi. Mereka kemudian menggiring peserta diskusi ke luar kontrakan dan melakukan penggrebekan kamar-kamar. RT kemudian menyita barang berupa 8 unit laptop, 2 unit HP Oppo, 2 unit HP Samsung, 1 proyektor, dan barang-barang lainnya yang masih berada di dalam kontrakan. Beberapa barang di dalam kontrakan juga sempat dirusak oleh Ormas. Kontrakan tersebut kemudian dikunci dan ‘diamankan’ oleh warga.
Pada pukul 20.00 WIB, Yustus dan Yohanes diizinkan masuk ke dalam kontrakan dan melakukan negosiasi ulang dengan Intel, oknum berpakaian preman, Ketua RT dan TNI. Mereka memaksa agar mahasiswa segera meninggalkan kontrakan dan pindah dengan alasan karena mengadakan diskusi Sejarah Perjuangan Papua. Namun mereka menolak dan menyatakan bahwa akan terus menetap di kontrakan tersebut. Namun mahasiswa Papua tetap dipaksa mengikuti permintaan mereka agar segera pindah, namun mahasiswa Papua menolak, dan mengatakan, “Kami akan tetap menempati kontrakan ini dan akan tidur di sini karena ini kontrakan kami.” Setelahnya, Yohanes dan Yustus diseret dan dipukuli ke luar kontrakan. Pada pukul 21.00 WIB peseta diskusi yang masih berada di halaman kontrakan dipaksa keluar dari kompleks gang 8C. Sepuluh meter dari jalan raya Mt. Haryono, beberapa dari peserta diskusi dipukuli hingga mengakibatkan salah satu anggota AMP kepalanya mengalami luka dan berdarah akibat pukulan benda tumpul oleh Intel, TNI, Polisi dan ormas. Peristiwa ini kemudian memancing kemarahan mahasiswa lainnya, hingga akhirnya terjadi aksi saling dorong dan setelah tiba di jalan raya Mt. Haryono terjadi kericuhan antara aparat keamanan dan massa AMP.
Tindakan pembubaran paksa atas kegiatan diskusi yang dilakukan mahasiswa Papua di Surabaya dan Kota Malang tidak terjadi pada hari ini saja, tetapi peristiwa ini merupakan alarm tanda bahaya bagi massa depan demokrasi Indonesia, dalam kontek ini negara abai terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana telah diatur dalam pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas memberikan hak setiap warga atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Peristiwa ini mengkonfirmasi bahwa negara cenderung mengabaikan salah satu prinsip paling pokok dalam demokrasi, yakni kebebasan berkumpul dan berpendapat. Pihak kepolisian telah menerapkan cara yang salah dan melanggar prinsip hak asasi manusia dalam menjamin perlindungan atas kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Berdasarkan uraian tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mendesak agar:
1. Kepolisian Republik Indonesia melakukan evaluasi atas sikap, tindakan dan perilaku aparat di bawahnya yang secara jelas dan nyata anti-demokrasi, melanggar konstitusi, dan menyepelekan hak warga untuk berkumpul dan berpendapat.
2. Menuntut pemerintahan Jokowi untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia dan pemenuhan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa terkecuali rakyat Papua.
3. Menghimbau kepada masyarakat agar tidak terseret dalam konflik horizontal dengan pemuda Papua. Sesungguhnya komunitas Papua sedang menyuarakan keadilan bagi rakyat Papua, karena itu selayaknya seluruh rakyat Indonesia mendukung suara rakyat Papua.
Surabaya, 02 Juli 2018
Andy Irfan J
Sekjend Federasi KontraS
Fatkhul Khoir
Koordinator Badan
Pekerja KontraS Surabaya