Press Release
Untuk segera disiarkan
Belum ada Keadilan bagi Korban Tragedi Kanjuruhan
Hari ini, 31 Desember 2024, di Pengadilan Negeri Surabaya Kembali digelar siding permohonan Restitusi yang diajukan oleh keluarga Korban Kanjuruhan. Majelis Hakim menetapkan restitusi bagi 63 (enam puluh tiga) korban meninggal dunia masing-masing sebesar Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah), dan 8 (delapan) orang korban luka masing-masing Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dengan total keseluruhan nya sebesar 1.025.000.000 (satu milyar dua puluh lima juta rupiah). Penetapan ini jauh dibawah nilai yang dimohonkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang totalnya sebesar 17.534.476.333 untuk 73 (tujuh puluh tiga) korban yang diajukan.
Penetapan yang dikeluarkan Majelis Hakim sangat jauh dari harapan korban. Para keluarga korban yang ikut menghadiri persidangan menjerit kecewa dan marah atas penetapan ini. Majelis Hakim yang terdiri dari tiga orang, yaitu Nur Kholis, Khadwanto, I ketut Kimiarsa, memimpin sidang ini dengan wajah datar dan dingin, nyaris sama sekali tidak peduli dengan penderitaan korban.
KontraS Surabaya Bersama Federasi Kontras telah memantau proses persidangan sejak persidangan ini pertama kali digelar, yaitu tanggal 10 Desember 2024. Ada beberapa catatan penting yang rekam dalam persidangan ini, yaitu :
1. Jumlah korban yang diajukan dalam permohonan restitusi terlalu sedikit disbanding dengan jumlah korban dalam Tragedi Korban Kanjuruhan. Dalam Tragedi Kanjuruhan, jumlah korban tercatat berjumlah 794 orang; sebanyak 135 orang meninggal dunia, 23 orang mengalami luka berat, 50 orang mengalami luka sedang, 586 orang mengalami luka ringan;
2. Pihak Termohon yang diajukan untuk membayar restitusi ini hanya lima orang terpidana, dan tidak menyertakan pihak ketiga. Padahal sejumlah Lembaga sepatutnya dimasukan dalam pihak ketiga, diantaranya adalah Kepolisian, PT. LIB dan PSSI. Ketiga Lembaga ini sangat terkait denga penyelenggaraan pertandigan sepak bola antara Arema dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang berujung pada tragedi;
3. Majelis Hakim yang menyidangkan permohonan restitusi ini sama sekali tidak memiliki empati atas penderitaan yang dialami korban. Nilai restitusi yang didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.010/2017 Tahun 2017 tentang Besar Santunan Dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum Di Darat, Sungai/Danau, Feri/Penyeberangan, Laut, Dan Udara sama sekali tidak berkesesuaian dengan konteks Tragedi Kanjuruhan, karena Tragedi ini bukanlah peristiwa kecelakaan. Majelis Hakim bukan hanya gagal memahami substansi yang terjadi dalam Tragedi Kanjuruhan, tapi juga gagal memberikan rasa keadilan kepada korban dan keluarga korban;
KontraS Surabaya dan Federasi KontraS menolak dan prihatin atas penetapan restitusi Majelis Hakim, dan mendukung keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menyatakan banding.
Sedari awal, proses penegakan hukum dalam Tragedi Kanjuruhan adalah wajah buruk akuntabilitas penegakan hukum dan praktek peradilan di Indonesia. Sejak dari perumusan konstruksi hukum dalam penyelidikan Kepolisian sampai dengan persidangan di Pengadilan, yang terjadi bukanlah memastikan adanya tanggungjawab hukum bagi yang terlibat dan pemenuhan keadilan bagi korban, tetapi justru sebaliknya, pengabaian tanggungjawab hukum bagi para pelaku yang bertanggungjawab dan menjauhkan pemenuhan keadilan bagi korban.
Dalam Tragedi Kanjuruhan, Impunitas (peniadaan atau penghilangan pertanggungjawaban hukum bagi pelaku kejahatan) merupakan masalah pokok yang belum mampu dijawab dałam sistim hukum di Indonesia.
Surabaya, 31 Desember 2024